Thursday, March 27, 2008

Cerpen -Karta- Komarudin

Komarudin
Mahasiswa Jurusan Sastra Arab semester 2. di luar kegiatannya menjadi mahasiswa, ia juga sedang berlajar berteater di Sanggar Altar Ciputat dan mulai aktif nongkrong di Siklusitu (masyarakat Sastra ciputat). selain cerpen ini, ada juga puisi puisi yang ia tulis, namun sampai saat ini belum bisa dihadirkan. selamat membaca




KARTA

Sejak kecil sudah sering kudengar cerita tentang orang gila tersebut dari banyak orang – orang tua yang berada di desaku, konon dulu sebelum menjadi gila Karta adalah seorang juragan tanah yang kaya raya didesaku yang kemudian menjadi gila karena di tinggal kabur istrinya, sang istri kabur setelah menjual habis harta kekayaan Karta. Istri Karta berbuat demikian itu demi untuk membalas dendam atas perlakuan Karta yang menjadikannya istri secara paksa, ini hanya menurut beberapa versi cerita yang kudengar. Menurut cerita juga Karta adalah orang kaya raya yang tabiat kelakuannya buruk, apabila ia menginginkan sesuatu maka hal itu harus terwujud, ia tak segan- segan menyingkirkan orang- orang yang dianggapnya menghalangi. Dia tak perlu bersusah payah untuk mendapatkan keinginannya, sebab dengan hanya mengacungkan jari kepada anak buahnya semua akan terlaksana sesuai dengan rencana. Itu cerita yang kudengar secara turun temurun dari para orang tua yang ada di desaku, entah cerita itu benar atau tidak tapi yang jelas Karta itu adalah orang gila yang selalu duduk di ujung jalan desaku dan biasanya ia akan menghilang untuk beberapa hari, kemudian ia akan muncul dan kembali duduk mematung di ujung jalan desa, itulah yang selalu kulihat sejak aku kecil hingga sekarang.

Seperti biasa setiap pulang bekerja di kantor kecamatan aku akan mampir dulu di warung kopi sebelah kanan jalan sebelum pintu gerbang jalan utama masuk desaku, hal seperti ini rutin kulakukan sejak beberapa bulan yang lalu, dan bahkan bila hari sedang libur kerja pun kadang- kadang hal ini kulakukan walaupun jarak rumahku dari warung kopi tersebut lumayan jauh. Sore ini kurasakan seluruh badanku sangat penat, sebab di kantor tadi ada kesalahan, data-data penting yang telah tersimpan rapi di computer terhapus tanpa sengaja, mau tidak mau aku harus mengulang lagi dari pertama untuk membuatnya. Sudah hampir setahun ini aku bekerja sebagai sekertaris di kantor kecamatan di kotaku, lumayanlah penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan hidupku sendiri yang masih hidup melajang, dan bahkan aku masih bisa menyisakan gaji untuk di tabung dan membiayai sekolah kedua adikku, hitung- hitung bisa meringankan beban orang tua.

Kulaju Sepeda motorku dengan kecepatan sedang di atas jalan beraspal yang mulai rusak. Dalam hati aku ingin cepat sampai rumah untuk mandi, badanku terasa sangat lengket oleh keringat dan daki tetapi sebelumnya aku ingin mampir dulu di warung kopi langgananku, melepas lelah yang menggelayut di otak. Tak lama kemudian aku telah sampai di warung kopi langgananku, ternyata warung kopi itu sore ini terlihat agak ramai dibandingkan dari sore biasanya. Di halaman depannya terlihat berbaris beberapa buah sepeda ontel dan sepeda motor sementara dari dalam warung kopi terdengar suara obrolan dan gelak tawa yang lumayan cukup keras. Kuparkirkan sepeda motorku di bagian paling kiri dan kemudian kuayunkan langkahku dengan santai menuju pintu masuk warung kopi.

“Dik Hardi selamat sore…,wah kelihatannya dik Hardi lelah sekali sekali hari ini?” seperti biasa dengan ramah lik Kusno si pemilik warung menyapaku, ku sambut sapaan lik Kusno dengan seulas senyum dan kode untuk membuatkan satu gelas kopi. lik kusno hanya mengangguk dan tertawa lebar, sepertinya dia paham bahwa hari ini aku sangat lelah sehingga untuk bicarapun enggan. Wajah lelaki hampir berumur senja itu kini tengah sibuk menuangkan air panas kedalam gelas sementara aku duduk dengan santai sambil menunggu pesanan kopiku jadi. Suara gaduh obrolan dan gelak tawa semakin meledak- ledak memekakkan telinga.

“…..Coba pikirkan bagaimana kita akan hidup makmur kalau harga tempe dan tahu saja kita sekarang kesulitan untuk menjangkau harganya, kelakuan pemerintah macam apa itu? Sampai- sampai untuk terus menyatukan rakyat kecil dengan tahu tempe saja mereka tak mampu! ”

Aku mengerling kearah suara orang yang sedang asyik berbicara tentang politik tahu tempe itu.Ternyata itu suara pak Wira, orang yang paling bersemangat apabila sudah berbicara tentang Negara, menurut cerita mbahku pak Wira itu adalah orang pertama yang berpendidikan hingga jenjang kuliah di desaku, tapi sayang dia tak bisa menjadi pegawai negeri karena ayahnya dulu di cap sebagai anggota PKI entah hal itu benar atau tidak, perihal pendidikannya yang tinggi, itu karena atas jasa baik carik Sumantri orang kaya yang juga seorang kepala sekolah. Pak Wira yang nama kecilnya adalah sugiono waktu itu di ambil sebagai anak angkat oleh carik Sumantri dan kemudian namanya diganti menjadi Prawira. Setelah namanya berganti menjadi Prawira dan Sugiono kecil telah menjadi bagian dari keluarga carik Sumantri maka gelar keluarga “PKI” yang di sandangnya sementara waktu tertutupi. Carik Sumantri mengangkat Sugiono sebagai anaknya tentu tidak tanpa beralasan, ia mengangkat Sugiono karena Sugiono adalah anak paling cerdas daripada yang lain pada waktu itu. Tapi sayang seribu sayang, setelah sekian tahun dia menjadi keluarga carik Sumantri dan dia dapat menikmati pendidikan yang tidak orang lain dapat nikmati bahkan untuk anak- anak carik Sumantri sendiri , Sugiono yang telah menjadi Prawira terpandang karena tinggi pendidikannya tak bisa melamar pegawai negeri di karenakan ada salah satu anak carik Sumantri yang membuka rahasia Prawira kepada orang- orang pemerintahan. Sebenarnya Prawira mampu mendapatkan pendidikan tinggi bukan karena semata- mata atas jasa carik Sumantri saja, tetapi karena Prawira memang berotak encer sehingga ia mendapat biaya sekolah gratis,berbeda dengan anak- anak carik Sumantri yang bodoh di karenakan terlalu banyak main dan menggampangkan hidup karena merasa berkecukupan dengan hanya sebagai anak dari carik Sumantri.

“……Nah! bagaimana menurut kalian sekarang? apakah orang- orang diatas sana sekarang masih punya itikad baik terhadap rakyat? dan mungkin apabila memang tenyata mempunyai itikad baik paling- paling kebaikan itu hanya untuk dirinya sendiri jika ia sudah mendapat respon baik dari rakyat.” Pak Wira semakin berapi- api bicara, sementara yang di ajak bicara, pak Agung yang seorang juragan kelapa dan pak Surip yang petani kecil biasa hanya mengangguk- anggukkan kepala, tanda mengerti dan mungkin juga hanya pura- pura mengerti.

Ku seruput pelan- pelan kopiku yang berwarna hitam kental, sembari menyalakan sebatang rokok kutebarkan pandangan mataku kesegala penjuru arah. Semua pengunjung warung terlihat sedang asyik ngobrol hanya aku yang berdiam diri, sebenarnya tadi aku di panggil oleh pak Surip untuk bergabung dengan mereka tapi aku merasa malas maka ku tolak ajakan pak Surip dengan sopan. Di antara pengunjung itu sebagian kecil ada yang tidak kukenal, mungkin mereka tukang ojek daerah lain yang tengah singgah sementara sebagian besarnya aku mengenal mereka sebagai petani dan distributor hasil- hasil pertanian.

“Dik hardi kenapa menyendiri saja, tidak bergabung dengan mereka?” terdengar suara dari arah pintu masuk yang mengejutkan diriku yang tengah asyik memperhatikan pengunjung warung kopi pak Kusno.Ternyata si empunya suara adalah uwak Jalal, sahabat kental ayahku

“Eh, uwak Jalal…darimana uwak?”Aku tak menjawab pertanyaan uwak Jalal tadi tetapi malah balik bertanya kepadanya.

“Oh, tidak darimana- mana kok, hanya jalan- jalan sore biasa sambil menengok sawah sebentar, yah hitung- hitung melemaskan otot- otot tua agar tidak kaku….” Uwak Jalal mengambil tempat duduk di sampingku.

“Uwak mau kopi?”

“Boleh……….” Uwak Jalal menjawab enteng sambil mengeluarkan rokok lintingan kesukaannya. Selama ini aku mengenal uwak Jalal adalah sosok yang jujur dan tidak suka banyak basa- basi, sesuatu yang ia katakan kepada orang lain adalah apa adanya tanpa dikurangi maupun dilebihi.Akhirnya aku larut dalam obrolan bersama uwak Jalal hingga lupa tentang badanku yang lengket karena keringat. Sambil asyik mengobrol kami menikmati kopi panas dengan diselingi menikmati beberapa makanan kecil juga.

Sementara itu sore semakin menggelincir turun untuk menyongsong malam, warna merah jingga di sebelah barat seakan memberi aba- aba bagi para penduduk desa untuk menyalakan lampu- lampu di rumah mereka. Warung kopi pak Kusno kini mulai sepi, lampu neon warungnya kini telah menyala hingga aku dapat melihat jelas warna kulitku yang kusam berdaki karena belum tersentuh air. Orang –orang yang tak kukenal tadi kini sudah tidak ada, sebagian pengunjung warung kopi pak Kusno telah pergi. Tak ada lagi suara berapi- api dari mulut pak Wira, pak Surip pun kini sudah pergi dengan sepeda ontelnya dan seonggok jerami untuk pakan sapinya. Kini yang terlihat hanya pak Agung yang tengah asyik ngobrol dengan pak Kusno, entah apa yang mereka obrolkan mungkin saja tentang barang- barang dagangan yang kian hari kian melonjak harganya. Tak lama kemudian terdengar suara adzan maghrib berkumandang dari surau dekat warung kopi pak Kusno dan di susul suara adzan yang sayup- sayup terdengar di kejauhan. Setelah membayar kopi dan beberapa makanan kecil yang aku dan uwak Jalal makan aku mengikuti uwak Jalal yang beranjak pergi masih dengan lintingan rokok pendek di mulutnya. Di langit terlihat beberapa bintang telah muncul dan di sebelah timur rembulan bersiap- siap untuk menerangi malam.

Entah sudah beberapa hari ini suasana di desaku terasa agak sedikit naik memanas, ya semua itu di sebabkan oleh berita- berita di media elektronik maupun media cetak bahwa harga minyak goreng di ramalkan akan melonjak naik lagi harganya, itu berarti harga kebutuhan- kebutuhan pokok lainnya akan ikut melonjak naik juga.Ya itulah penyebabnya, terlihat sederhana tetapi cukup mengguncang rakyat kecil seperti di desaku ini. Mungkin hal seperti itu tak terasa membebani bagi kalangan orang- orang yang berada diatas karena mereka mempunyai cukup uang untuk membeli walau bahan- bahan makanan pokok melangit. Walaupun warga desaku adalah rakyat kecil sebagaimana biasanya tetapi orang- orang di desaku adalah orang- orang yang tegar, bukan orang- orang manja yang gampang menangis karena hanya di kerjai oleh “orang- orang pintar yang di kebiri sehingga mereka tak punya lagi kemaluan.” Bagi orang- orang di desaku susah untuk mendapatkan minyak goreng memproduksi sendiri pun jadi, di kebun- kebun masih ada kok pohon-pohon kelapa peninggalan nenek buyut mereka. Tetapi tidak ada terigu apakah memproduksinya sendiri pun jadi? oh iya, tidak ada terigu masih bisa kok tidak makan makanan yang di goreng pakai terigu soalnya di kebun masih ada ubi, singkong, atau jagung yang masih bisa di makan dengan hanya di bakar. “Tak usah terlalu repot untuk hidup,” kata mereka yang sudah terlalu lelah karena selalu di himpit oleh kerumitan hidup.

“Huuhh……! harga-harga kebutuhan pokok terancam naik lagi, bagaimana nasib rakyat apabila penuh ketidakjelasan seperti ini terus? mengapa jutaan rakyat harus menanggung derita karena hanya untuk segelintir orang yang tergila-gila untuk meraih pangkat dan kekayaan?!” kudengar ibuku menggerutu, matanya memelototi layar televisi sambil tangannya terus memenceti remote control. Tiba- tiba hidungku mencium sesuatu yang gosong di dapur, aku yang tengah asyik membolak balik halaman majalah merasa terganggu, tetapi kulihat ibuku sepertinya tak mencium bau gosong itu.

“Ibuuu…..! itu bau gosong apa di dapur?!” cepat- cepat kupanggil ibuku yang sepertinya larut oleh berita- berita menjemukan itu dengan setengah berteriak.

“Astagfirullah…..” ibuku cepat- cepat berlari kearah dapur begitu mendengar teriakanku.

Aku hanya menggeleng- gelengkan kepala. Kuteruskan keasyikanku membaca majalah. Tiba- tiba diotakku terlintas begitu saja bayangan pak Wiro yang tengah berorasi tentang keadaan politik dan ekonomi akhir- akhir ini di warung kopi lik Kusno. Sepertinya besok dia adalah pengunjung pertama di warung kopi demi meluapkan orasinya kepada orang- orang yang singgah, aku tersenyum geli memikirkannya.

Waktu menunjukan pukul 16.49 WIB, di halaman sebuah rumah yang cukup bagus dibandingkan dengan rumah- rumah lainnya yang ada didesa Anoman terlihat tiga orang lelaki setengah baya tengah berbincang- bincang di depan segerumbulan bunga yang tertata rapi. Tiga lelaki tersebut adalah pak Subandrio sang pemilik rumah, pak Sugeng kerabat dekat pak Subandrio, dan pak Jaya seorang pengurus balai desa.

“……Jadi nanti balai desa bisa di pakai kan?” Mata pak subandrio menyipit, dengan santai mulutnya mengepulkan asap rokok.

“Ah, masalah balai desa bisa di pakai itu masalah gampang pak, tapi apakah pak lurah benar- benar sudah tahu tentang rencana pengumpulan warga desa ini?” Pak Jaya mengernyitkan dahi.

“Sudah tenang saja pak Jaya…..pak lurah sudah tahu hal ini tempo hari, kami telah menceritakan rencana kami ini dan semua tujuannya kemarin dulu dan pak lurah sendiri menyetujuinya. Sebenarnya pak lurah yang akan memimpin langsung rencana ini, tapi sayang tadi pagi beliau harus pergi keluar kota untuk menjenguk mertuanya yang sedang di rawat di rumah sakit dan sekarang belum pulang, tapi tadi saya sudah menghubunginya untuk minta izin agar pak Subandrio yang memimpin warga, dan pak lurah tidak keberatan untuk itu.” Pak sugeng berusaha meyakinkan pak Jaya yang masih terlihat ragu- ragu.

“Pak Jaya, memang salah kami juga pada saat membicarakan hal ini kami tidak mengundang para pengurus desa jadi tidak ada yang tahu hal ini kecuali kecuali saya, pak Sugeng, dan pak lurah. Dan saat di hubungi tadi pak lurah minta maaf karena katanya beliau lupa menyampaikan rencana ini kepada para pengurus desa. Kalau misalnya pak Jaya masih belum yakin, pak Jaya boleh menghubungi pak lurah dulu untuk menanyakan hal ini.” Pak subandrio menimpali pernyataan pak sugeng tadi.

“Baik kalau seperti itu adanya saya akan menyuruh para Rt untuk memberi tahu warganya.”

“Terima kasih sekali pak Jaya atas dukungan bapak terhadap pengumpulan warga ini.”

“Ah memang sudah tugas bagi saya sebagai pengurus balai desa pak Bandrio……….”

“Pak Jaya memang benar- benar pengurus yang baik.”

“Ah pak Sugeng bisa saja…” Pak jaya tersenyum kecut.

Cahaya matahari sore semakin menguning, suasana sore di desa Anoman sungguh tentram. Terdengar suara kambing mengembik menunggu tuannya memberi seonggok rumput segar, anak- anak kecil bermain gerobak sodor di tepi jalan sementara ibu-ibu mereka berteriak-teriak menyuruh mereka untuk segera pulang. Angin bertiup semilir dari arah bukit Kranjen yang berdiri kokoh di sebelah timur desa Anoman. Suara cicit burung riuh rendah seakan ingin memberi tahu kepada manusia bahwa mereka akan pulang kesarang mereka yang hangat.

“Dik Hardi nanti malam ada pertemuan dibalai desa, tolong kasih tahu bapak ya, tadi sebelum Maghrib pak Jaya memberi tahu, katanya ada pertemuan penting dibalai desa nanti.”

“Tapi bapak sedang tidak ada di rumah pak Rt.”

“Ya sudah kamu saja yang mewakilinya ya? kamu sedang tidak ada acara kan?”

“Tidak ada pak, baik nanti saya yang akan datang mewakili bapak, pak Rt.” Masih terngiang- ngiang di telinga obrolanku dengan pak Rt selepas maghrib tadi di halaman surau. Sayang aku tak sempat menanyakan kepada pak Rt pertemuan mendadak ini akan membahas tentang apa. Sambil berpikir aku sibuk memilih- milih baju yang akan kugunakan untuk menghadiri pertemuan dibalai desa tersebut.

Dari kejauhan aku melihat dibalai desa sudah terlihat banyak orang yang datang, gedung balai desa yang biasanya hanya diterangi lampu di halamannya kini terlihat terang- benderang di terangi lampu dari ruangan dalam. Kupercepat sedikit langkahku agar cepat sampai tujuan, sekarang aku telah keluar dari jalan utama dan sekarang berada dijalan khusus menuju gedung SD dan balai desa, ya gedung balai desa di desa Anoman tempat tanah kelahiranku memang di bangun tepat berdampingan dengan gedung SD. Kuseka keringat yang mengalir didahi dangan sapu tangan.

“Hardi..! tunggu..!” terdengar suara memanggil namaku, aku menoleh keara`h sumber suara tersebut, ternyata itu suara Saman, teman bermainku waktu kecil dulu.

“waduh…..Hardi..untung kamu ikut juga pertemuan malam ini jadi aku tidak sendirian sebagai orang yang berumur muda.” Saman terlihat mengatur nafasnya yang tersengal- sengal sejenak. Aku tersenyum melihatnya.

“ Saman kelihatannya kamu terburu- buru sekali sampai megap- megap seperti itu?”

“Iya, soalnya tidak ada teman jalan, jadi saya cepat- cepat jalannya, tadi saya kira hanya saya pemuda yang ikut menghadiri acara orang tua ini.”

“Ah, kamu…,ayo cepat jalan, ngobrolnya sambil jalan saja, itu lihat orang- orang tua sudah datang lebih dahulu.”

“He….he…he….he….” Saman tertawa terkekeh- kekeh seraya mengikuti langkahku. Kami berdua berjalan dengan santai sambil bercengkrama, hal yang jarang kami lakukan setelah besar karena kesibukan memenuhi tuntutan sebagai orang yang telah di sandangi gelar kedewasaan.

Setelah beramah- tamah dengan orang- orang yang datang terlebih dahulu, aku dan Saman mengambil tempat duduk dibangku kedua sebelum pojok. Sambil menunggu peserta lain yang belum hadir kami melanjutkan cengkrama yang sempat terputus sebentar tadi. Terdengar suara- suara percakapan menggaung memenuhi ruangan yang jarang- jarang di isi oleh manusia ini, angin malam mendesau bercampur dengan suara serangga. Suara derit rumpun bambu diterpa angin malam yang tumbuh di samping gedung balai desa serasa sedang menyanyikan kedamaian malam didesa Anoman.

“Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakaatuhu…”

“Waalaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuhu…..” Terdengar suara jawaban yang serempak. Warga desa kini telah hadir semua, tetapi masih ada yang janggal soalnya pak lurah yang biasanya memimpin pertemuan belum terlihat hadir, yang hadir hanya perangkat desa dan itu pun tidak semuanya. Inilah yang membuat para warga yang menghadiri pertemuan malam ini terheran- heran, di tambah- tambah yang membuka acara adalah pak Subandrio yang bukan seorang perangkat desa atau berhubungan dengan masalah pengaturan desa.Terlihat beberapa warga berbisik- bisik dibagian belakang dan yang lainnya memperhatikan kearah depan dengan perhatian penuh seakan- akan menanti jawaban semua kejanggalan yang di rasakan.

“Bapak- bapak, kami ucapkan terima kasih sebelumnya karena telah menyempatkan diri untuk menghadiri acara yang mendadak ini, tapi kalau dikatakan mendadak sepertinya kurang tepat juga karena acara ini telah di bicarakan jauh- jauh hari hanya saja ada keterlambatan untuk mengumumkannya, hadirin semuanya tentu merasa heran dengan tidak hadirnya pak lurah dan sebagian kecil perangkat desa, baik, sebelum kita masuk ke acara inti saya akan jelaskan semuanya.” Dengan lantang pak Subandrio menerangkan duduk permasalahan mengapa pak lurah dan beberapa perangkat desa tidak ikut hadir dalam pertemuan tersebut.

“Bagaimana bapak- bapak? sudah mengerti sekarang?”

“Sudaaahhh……?” Terdengar suara yang tidak kompak, sebagian warga ada yang mnenjawab, ada yang hanya mengangguk- anggukan kepala, ada yang berbisik- bisik, pokoknya bermacam- macam reaksi mereka untuk menunjukan pemahaman mereka. Senyum kepuasan mengembang di bibir pak Subandrio.

“Nah…baik semuannya , untukmempersingkat waktu yang semakin malam saya akan menjelaskan tujuan saya mengumpulkan bapak- bapak malam ini, jadi begini bapak- bapak…………” Pak Subandrio dengan detail menjelasakan rencananya terhadap warga desa Anoman. Pertanyaan- pertanyaan dari warga yang dilontarkan kepadanya dijawab dengan jelas dan meyakinkan sehingga si pemberi pertanyaan merasa puas.

Rencana yang pak Subandrio, pak sugeng, dan pak lurah rundingkan ialah tidak jauh- jauh dari keadaan warga desa Anoman akhir- akhir ini,keadaan ekonomi yang semakin menjepit di karenakan naiknya harga- harga kebutuhan pokok, kelangkaan barang, mahalnya bahan- bahan baku produksi seperti Kelapa dll. Pak subandrio yang seorang pedagang sekaligus disrtibutor hasil- hasil kebun berencana memodali koperasi desa yang di anggap mandul, tidak berfungsi sebagai koperasi desa sebagaimana semestinya, ya itu di karenakan jarang sekali pemasukan yang masuk kekas desa. Bagaimana mungkin kas desa akan terisi rutin sedangkan warga desa Anoman yang mata pencahariannya adalah bertani selalu dalam kondisi ekonomi pas- pasan, bila ada petani yang keadaan ekonominya sedikit lebih tinggi di bandingkan yang lain itu mungkin karena mereka merangkap sebagai distributor hasil- hasil pertanian warga desa Anoman. Jadi demi melihat itu semua pak Subandrio yang mempunyai cukup uang mersa tergerak untuk memajukan desa Anoman dengan cara memperbaiki ekonomi desa melalui koperasinya, apabila bagus sistem ekonomi desa maka akan bagus juga ekonomi warganya karena warga bisa melakukan simpan pinjam uang di koperasi desa. Dalam memodali koperasi pak Subandrio tidak sendiri dia akan bekerja sama dengan teman baiknya pak Sugeng yang seorang pedagang besar tetangga desa sebelah, orang yang tak asing lagi bagi kalangan warga desa Anoman karena sebagai pedagang pak Sugeng itu sering keluar masuk desa, dan salah satunya adalah desa Anoman.

“Nah, bagaimana bapak- bapak, apakah bapak- bapak sekalian paham dengan penjelasan saya tadi? coba sekarang pikirkan sejenak secara jernih usul saya tadi untuk memodali koperasi desa?” wajah pak Subandrio terlihat berkeringat kemudian ia menyekanya dengan punggung telapak tangan. Hampir setengah jam ia berorientasi di hadapan warga, kemudian ia kembali ketempat duduknya disamping pak Sugeng, dideretan para perangkat desa seperti uwak Jalal, pak Trisno dan yang lainnya. Sementara para warga sibuk merundingkan niat baik pak Subandrio, pak Subandrio terlihat sayik berbincang- bincang dengan pak Sugeng, Uwak Jalal dan perangkat desa lainnya kemudian nimbrung dengan obrolan pak Sugeng dan pak Subandrio. Sesekali terdengar gelak tawa dari ruangan balai desa yang mulai dipenuhi asap rokok itu, jarum jam terus berputar, waktu menunjukan pukul 22.39. Di luar angin semakin kencang berhembus, suara derit rumpun bambu semakin keras berbunyi.

“Bagaimana hadirin semuanya? setuju dengan rencana saya yang telah dipaparkan tadi?” Kini pak subandrio kembali berdiri dengan wajah penuh yakin bahwa para warga pasti akan setuju dengan rencananya. Dalam hati pak Subandrio bersorak penuh kemenangan, peluang besar telah terbuka lebar baginya untuk menjadi kepala desa tahun depan. Masa jabatan pak Aryo akan habis pada beberapa bulan mendatang dan orang- orang yang hendak mencalonkan diri sebagai lurah mulai mencari tempat di hati warga termasuk pak subandrio sendiri.

“Bagaimana bapak- bapak? setuju tidak?” Pak subandrio mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Kini ia mondar- mandir layaknaya seoranrg guru sedang mengajar muridnya. sebentar ke pak sugeng, sebentar ke uwak Jalal, sebentar ke hadapan warga.

“Bagaimana bapak- bapak?” Sekali lagi pak Subandrio mengulangi pertanyaannya, ruangan hening sejenak.

“setujuuu………” Hampir semua warga menjawab dengan setuju, wajah pak Subandrio dan pak Sugeng terlihat sumringah, senyum menghiasi bibir para warga desa Anoman yang hadir malam itu mereka merasa menemukan malaikat penolong yang peduli dengan keadaan mereka. Hanya beberapa orang yang masih mengerutkan kening diantaranya adalah pak Wiro orang yang menyimpan catatan hitam pak Subandrio dihatinya.

“Maaf saudara- saudara saya akan mengajukan pertanyaan yang mengganjal dihati, tolong dengarkan sebentar.” Suasana gembira diruangan balai desa itu terputus oleh suara lantang pak Wiro, pak Subandrio terlihat mengerutkan keningnya dalam- dalam.

“Pertanyaan apa pak wiro?”

“Begini, kalau tidak salah dalam uraian rencana bapak tadi pak Subandrio menyebutkan bahwa semua hasi- hasil kebun di tampung di koperasi desa?”

“Betul.”

“Kalau memang seperti itu siapa yang akan mendistribusikan hasi- hasil pertanian tersebut?”

“Ya koperasi tentunya.”

“Saya tahu tentang itu.”

“Lalu apa yang akan pak wiro tanyakan?” Terlihat pak subandrio tersenyum seolah- olah mengejek, terdengar suara kasak- kusuk dari bagian kiri kanan. Aku diam memperhatikan pak Wiro yang terlihat berusaha menenangkan diri. Sementara Saman sibuk berbisik- bisik dengan pak Waluyo yang duduk tepat dibangku belakangku.

“Yang saya tanyakan adalah, siapa orang yang akan membeli hasil- hasil tani yang menumpuk di koperasi nantinya?, apakah hasil- hasil tani itu akan dibiarkan begitu saja hingga membusuk?”

“Tenang pak Wiro, disini ada distributor handal yaitu pak Sugeng, teman baikku.” Pak sugeng yang merasa mendapat perhatian dari orang- orang yang hadir diruangan itu tersenyum sambil mengangguk- anggukan kepala.

“Oh, jadi seperti itu?”

“Tentu…”

“Baik pak Subandrio, saya akan langsung saja mengungkapkan hal yang mengganjal di hati saya.”

“Silahkan, langsung lebih baik daripada bertele- tele.”

“Begini saudara- saudara, apabila pak Sugeng yang membeli hasil- hasil tani nantinya maka dengan seperti itu dia sebagai pedagang akan mendapatkan untung besar, sementra para pedagang sampingan atau para petani yang merangkap sebagai distributor didesa Anoman ini akan mati karena semua barang telah di hisap masuk ke koperasi desa, dengan seperti itu para petani yang merangkap juga sebagai distributor itu mau tidak mau harus menjadi petani biasa lagi seperti dulu.”

“Berarti dengan seperti itu pak Wiro ini menentang majunya koperasi desa kita?” wajah pak subandrio menegang.

“Bukan maksud saya menentang majunya koperasi di desa Anoman, tapi saya menentang orang yang mengoperasikan koperasi itu sendiri, koperasi itu akan bagus apabila yang menjalankannya tulus karena untuk kepentingan bersama.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, saya menentang orang yang mengoperasikan koperasi itu untuk kepentingan sendiri.”

“Mengapa pak Wiro bisa bicara demikian?”

“Karena saya memandang niat baik pak Subandrio itu untuk kepentingan pak subandrio dan pak Sugeng sendiri.”

“Pak Wiro!, jangan lancang berbicara!!!” Setengah berteriak pak Subandrio membentak pak Wiro. Pak Sugeng terlihat geram karena namanya di sebut- sebut. Suasana semakin memanas.

“Tenang pak Subandrio, saya berbicara seperti ini bukan tanpa dasar. Bukankah sudah saya sebutkan sebagai pedagang pak Subandrio dan pak sugeng telah sukses besar karena mampu mematikan para petani yang tengah berdagang kecil- kecilan. Sekilas memang pak Subandrio seperti dewa penolong, tapi apabila dipikir dalam- dalam bapak Subandrio sebenarnya tengah mematikan usaha dagang kecil- kecilan para petani di desa Anoman dan berusaha memusatkannya pada pak subandrio dan pak Sugeng, kawan baik pak Subandrio.”

“Hati- hati kamu bicara Wiro!” Pak subandrio memerah wajahnya, sementara warga mulai tersentak oleh sesuatu yang tidak mereka sadari. Aku diam menelan ludah mendengar serangan pak Wiro terhadap pak Subandrio. Sementara Saman yang tadi asyik berkomentar dengan pak Waluyo kini diam tercekat.

“Saya sudah berhati- hati berbicara Pak Subandrio, oleh karena itu saya berani berbicara seperti ini, oh iya, saya hampir lupa, kalau tidak salah beberapa bulan lagi pemilihan kepala desa akan berlangsung dan apabila rencana pak Subandrio untuk memodali koperasi ini berhasil maka pak Subandrio akan berhasil juga menjadi lurah karena warga menganggap pak subandrio ini adalah dewa penlong bagi mereka.bukankah pak subandrio akan mencalonkan diri menjadi calon lurah? sungguh pintar akal pak Subandrio ini, sekali mendayung dua pulau terlewati sekaligus.”

“Wiro! kalau kamu memang dendam denganku jangan kau fitnah aku di depan orang banyak!”

“Saya tak memfitnah! saya bicara apa adanya sebagaimana kamu dulu bicara apa adanya tentangku! lagipula mau apa pak Sugeng mengikuti kumpulan desa yang bukan desanya sendiri kalau bukan untuk kepentingannya sendiri hah?!”

“Hei…pak Wiro kurang ajar kamu bicara, jangan merasa dapat angin Karena hanya kamu pintar berbicara sehingga kamu dengan seenaknya menginjak– injak nama baik orang lain. Saya datang kesini umtuk niat baik tentunya.” Pak Sugeng kini membuka mulut membela diri, wajahnya memerah menanggung malu.

“Pak Sugeng, kalau bicara di pikir dulu, niat baik anda untuk siapa?, untuk warga desa Anoman atau diri anda sebagai pedagang?”

“Baik..pak Wiro..Mungkin acara ini akan ditutup dulu, nanti kita akan rundingkan bersama pak lurah pada pertemuan mendatang.” Pak Subandrio memotong persitegangan pak Sugeng dengan pak Wiro agar tidak berlanjut, nada suaranya terdengar lebih rendah, seakan mencoba mengumpulkan energi, ia merasa perdebatan malam ini tidak seimbang. Matanya sayu menampakan lemas karena rencana yang dia atur dengan rapih berantakan begitu saja, semangat yang tadi menggebu- gebu hilang entah kemana. Sementara pak sugeng diam dengan kepala terpekur. Seluruh hadirin diam seribu bahasa termasuk uwak Jalal yang terkenal sebagai orang tua bijakasana yang terbiasa untuk mengayomi, ia tak bisa berkutik apa- apa malam ini sebagaimana warga yang lainnya. Malam semakin larut.

“Jangan seenaknya memutuskan acara ini pak Subandrio, bapak pikir bapak ini siapa? mengumpulkan orang seenaknya dan membubarkannya begitu saja karena hanya untuk mnghindar, sebenarnya pak Subandrio ini tidak punya hak untuk mengumpulkan warga kecuali bapak memberi imbalan kepada setiap warga. Tidak usah menunggu pak lurah datang, toh niat pak Subandrio tidak akan berubah bila pak lurah datang. Sebenarnya dengan tidak adanya pak lurah itu adalah keuntungan besar bagi kami yang pak Subandrio kira juga adalah keuntungan besar bagi pak subandrio, Yah Pak subandrio kira dengan tidak adanya pak lurah bapak akan leluasa bicara untukmempengaruhi warga?, salah besar!, dengan tidak adanya pak lurah justru warga desa tidak akan terpengaruh oleh kepercayaan mereka terhadap pak lurah, karena mungkin apabila pak lurah ada kemungkinan besar pak lurah akan membela pak Subandrio karena pak lurah sendiri juga sepertinya telah terpengaruh dengan usul pak Subandrio, buktinya pak lurah Aryo yang selama ini terkenal teliti memberi mandat begitu saja terhadap pak Subandrio.” Dengan panjang lebar pak Wiro berbicara, roman mukanya terlihat tenang.

“Kamu jangan coba membawa- bawa nama pak lurah Aryo….”..

“Ya memang harus saya bawa agar semuanya jelas. Saya bersyukur kepada Allah SWT karena dengan tidak hadirnya pak lurah para warga mau mendengarkan omongan saya, bisa saja kalau pak lurah ada omongan saya tidak didengarkan karena mereka lebih percaya terhadap pak lurah, fakta memang membuktikan kepemimpinan yang teratur adalah dengan system kepercayaan. Pak Aryo itu orang yang jujur dan baik hati makanya ia dipercaya. Jadi untuk menjadi seorang pemimpin itu dengan otak bukan hanya dengan senyum karena merasa mempunyai banyak harta pak Subandrio…”

“Anjing...! kamu Wiro..! manusia tidak tahu malu! berapa tahun kamu di beri makan keluargaku hah?!” Pak Subandrio meloncat kearah Pak wiro dengan tangan mengepal, pak Subandrio benar- benar kehilangan kendali. Tapi untung warga tanggap, dengan sigap mereka mengamankan pak Subandrio dan pak Wiro agar tidak baku hantam. Suasana ruangan balai desa itu gaduh dengan makian dan bentakan, ada suara orang yang melerai, ada suara orang yang menyarankan untuk segera bubar, bahkan diantaranya ada yang pulang tanpa mempedulikan lagi keributan yang sedang berlangsung.

Melihat itu semua uwak Jalal yang biasa melerai pertikaian segera berusaha untuk mendinginkan suasana yang memuncak. “Saudara- saudaraku warga desa Anoman, karena keadaan tidak mungkin untuk mengambil keputusan maka sebaiknya kita bubar saja dan…..” Suara uwak jalal terputus karena keadaan semakin kacau oleh suara- suara warga yang naik emosinya.

“Betul…bubar saja! bubar…! tidak ada keputusan, buat apa memberi keputusan kepada orang- orang yang menjadikan kepentingan warga untuk kepentingannya sendiri…kami hanya ingin kejujuran..betuuulll??!!!”

“betuuul…….!!!!!” Entah suara siapa yang memotong perkataan uwak Jalal tadi yang kemudian langsung di tanggapi oleh warga. Semuanya bubar tanpa banyak basa- basi dan salam penutup. Pak Sugeng tidak terlihat diantara orang- orang yang bubar terpencar- pencar, sepertinya ia meninggalkan balai desa Anoman itu selagi warga melerai pak wiro dan pak subandrio, menyelinap diantara warga yang pulang lebih dulu meninggalkan kekacauan di ruang balai desa itu. Malam semakin tua. Dilangit bintang- bintang bertaburan, berkelap- kelip seakan menertawakan para kelakuan anak cucu adam di desa Anoman.

Pak Subandrio adalah anak dari carik Sumantri, orang yang membuka identitas pak Wiro sehingga ia ditolak untuk bekerja dipemerintahan. Mungkin itu penyebab utama pak Wiro membuka kedok rencana Pak Subandrio secara terang- terangan di hadapan khalayak ramai walaupun pak Wiro sendiri berdalih untuk membela warga desa Anoman. Sebenarnya yang dituturkan pak Wiro memang benar, pak Subandrio ingin menguasai perekonomian di desa Anoman sekaligus mencari celah agar ia terpilih sebagai lurah nanti. Tetapi semuanya terasa jadi samar di mana ketika masalah pribadi di campur adukan dengan kepentingan mayoritas, kebenaran menjadi mengawang- awang. Hal seperti inilah yang melahirkan pertikaian, kita akan merasa bersalah bila hanya mengambil keputusan dengan hanya memandang salah satunya saja, dan kita akan merasa lebih susah untuk mengambil keputusan dengan memandang semuanya. Entahlah, kebenaran memang hanya milik Tuhan. Politik ekonomi dan kepentingan pribadi akan tetap menjadi sesuatu yang tak terpisahkan.

Hari- hari terus berlalu, Peristiwa dibalai desa beberapa waktu lalu bukan menjadi pembicaraan yang hangat lagi, semuanya telah terlupakan, tapi entah bagi pak Wiro dan pak Subandrio, mungkin peristiwa itu tak akan dapat dilupakan oleh keduanya untuk selamanya. Pak sugeng yang biasanya terlihat mondar- mandir di jalanan desa Anoman dengan sepeda motornya kini tak pernah terlihat batang hidungnya lagi. Pak lurah Aryo yang mengetahui hal tersebut dari cerita orang hanya mampu meminta maaf kepada warga desa dan berjanji untuk lebih berhati- hati lagi agar tidak terjadi lagi kekacauan akibat kecerobohannya sendiri.Waktu terus bergulir, semua masih seperti biasanya, orang- orang masih bertani, para petani yang merangkap sebagai distributor masih berdagang seperti biasa, warung kopi lik Kusno masih dipenuhi pelanggan, pak Wiro masih berbicara tentang politik, ekonomi dan Negara, apalagi sejak peristiwa dibalai desa itu, perkataannya semakin menggebu- gebu layaknya seorang pejuang kemerdekaan yang tengah menyemangati kawan- kawannya. Aku masih bekerja di kantor kecamatan dengan sepeda motorku dan pulang sore hari, sebelum sampai di rumah aku akan selalu mampir dulu di warung lik Kusno.

Tetapi di balik aktivitas yang biasa terjadi itu ada sesuatu yang berbeda, itu menyangkut tentang kelakuan Karta yang akhir- akhir ini mulai meresahkan warga desa. Dia yang biasanya duduk diam diujung jalan sambil memandangi orang yang lewat dengan pandangan mata kosong kini mendadak menjadi liar.Sekarang Karta selalu mengejar anak- anak sekolah dasar yang lewat hingga mereka ketakutan dan tidak jadi berangkat sekolah, begitu pula dengan ibu- ibu mereka yang mengantarkan anaknya yang ketakutan, para ibu tersebut tak ada bedanya dengan anak- anak mereka, mereka ketakutan juga karena dikejar- kejar Karta. Akibatnya sekolah dasar sudah beberapa hari ini tidak ada murid- muridnya, guru- guru kebingungan karena tidak ada yang mereka kerjakan kecuali seharian membaca Koran hingga pantat mereka sakit. Selain mengejar anak- anak sekolah dasar dan ibu- ibu yang mengantarkan anaknya kesekolah Karta juga mengejar- ngejar gadis- gadis desa sehingga pada malam minggu tidak terlihat lagi pemuda- pemudi yang pacaran. Itulah yang dikejar- kejar oleh Karta, anak- anak sekolah dasar, para ibu yang mencoba mengantarkan anaknya kesekolah, dan para gadis, selain mereka Karta acuh tak acuh.

Semakin lama Karta semakin meresahkan, kini dia tidak hanya mengejar mangsanya tapi juga meminta makanan kepada penduduk dengan kasar, yang lebih konyol lagi apabila ia tidak diberi makan beberapa lama kemudian hewan peliharaan orang yang tak memberi makan pasti mati karena di bunuh oleh Karta. Tidak hanya sampai situ, tingkah Karta bertambah lagi, kini Karta selalu melucuti pakaiananya hingga telanjang bulat, dia tak akan berpakaian bila tidak ada orang yang masih menaruh rasa iba kepadanya untuk menutupi bagian tubuh yang selayaknya tidak untuk diperlihatkan kepada umum dengan penutup ala kadarnya. Melihat itu semua penduduk desa Anoman sepakat untuk memasung Karta, tapi anehnya apabila Karta akan disergap untuk dipasung ia selalu menghilang entah kemana, dan apabila penduduk telah lupa maka ia akan kembali muncul, seakan- akan Karta tahu apa yang akan diperbuat penduduk desa kepadanya. Pembicaraan tentang Karta sekarang bukan hanya cerita untuk anak kecil, sekarang entah itu ibu- ibu, ustad, guru, perangkat desa, petani, pengangguran atau apa saja kini ramai membicarakan tentang Karta, orang gila yang berumur tua, ya memang tidak ada yang tahu umur Karta itu berapa, soalnya orang- orang yang hidup sezaman Karta kini telah tiada semua, mungkin apabila Karta itu mempunyai anak maka anaknya sudah mempunyai cucu.

Hari ini aku pulang terlambat. Soalnya tadi, waktu aku baru saja keluar dari kantor aku bertemu dengan Rani, perempuan yang pernah memiliki tempat di hatiku waktu masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat aku berbincang- bincang dengannya dia menawari aku untuk main kerumahnya, yang barang tentu tanpa basa- basi aku langsung menerimanya. Ada sesuatu yang menjalar disekujur tubuh yang membuat dada ini terasa sesak waktu aku membonceng Rani menuju rumahnya, sesuatu yang sama seperti saat aku pertama kali bertemu dengan Rani dan saat aku melihat Rani bergandengan dengan seorang lelaki.

Aku mengendarai sepeda motor dengan santai, suara mesinnya yang masih terdengar halus menderum di jalan desa yang sunyi. Sambil memainkan gas masih kucoba untuk menikmati perasaanku yang masih melayang- layang, malam ini terasa sangat membahagiakan bagiku. Tetapi disaat aku tersenyum- senyum sendiri mengingat setiap kalimat percakapanku dengan Rani tadi aku terkesiap, darahku berdesir, soalnya didepanku mendadak muncul sosok berbalut kain putih, serta merta kuhentikan sepeda motorku. Mulutku komat- kamit membaca ayat- ayat suci Al qur’an. Jantungku berdegup kencang tapi berbeda dengan degupan saat aku membonceng Rani tadi. Semakin lama sosok itu semakin mendekati aku yang masih berada diatas sepeda motor, persendian tulangku serasa hampir copot. Keringat dingin mengalir dikeningku, aku tak mampu melakukan apa- apa untuk mmenghindari sosok tersebut. Sosok itu semakin dekat. Tetapi saat sosok berbalut kain putih tersebut berdiri kira- kira dua meter didepanku lambat- laun aku mengenali sosok tersebut, dia ternyata Karta!, kuhentikan bibirku yang komat- kamit membaca ayat suci Al qur’an. Kini ketakutan yang kurasakan berganti dengan keheranan yang sangat.

“Hee..hee..hee….heee…” Tiba- tiba Karta terkekeh yang membuatku merinding

“Eh.. kamu…tahu tidak mengapa aku begini?…hi…hi..hi.. pasti kamu iri lho kalau tahu.” Mulut Karta meracau, aku tak bisa berbuat apa- apa kecuali memandangi Karta dengan lekat. Bau tak sedap dari tubuh Karta hinggap dihidungku. Dari sorot lampu motorku aku dapat melihat jelas tubuh Karta yang kotor terbalut kain putih. Giginya yang besar- besar tampak kuning kotor sekali, wajahnya hitam legam, daun- daun kering menyangkut dirambutnya yang gimbal beruban.

“Aku….aku …duluuu…kayaaaa…lhooo,..banyak duit, selaluuu… menang judiii…, setiap malam aku selalu menghabisakan bergelas- gelas tuak…, tapi…,tapi.. huuu….huuu…uuu, aku ditinggal kabur istriku, soalnya aku jahat siiiiiiih…..Rasmi dimana kamu sekarang...?Rasmi......!Rasmii! Rasmi...!huuuu…huuuu…huuuu…huuuu.” Karta menangis histeris dengan memanggil- manggil nama seseorang yang mungkin itu nama istrinya dulu, tiba- tiba terbesit di hatiku rasa iba sebab melihat Karta menangis seperti itu layaknya orang waras saja.

“Aaaaah….!! Saya benci dengan anak- anak sekolah soalnya nanti kalau sudah pintar dia akan jahat dengan orang- orang…….he….hee…saya tidak suka lihat orang pacaran soalnya istriku kabuuuurrrr… huuu…huuuuu…hee…hee..heeeee..hi…hiiiii… kamu iri ya soalnya aku dibebaskan oleh tuhan karena aku bodoh…….hee…heee…bodoh…,bodoh….. huuu….huuuu…huuuu.” Aku diam terpaku, terhipnotis oleh racauan Karta yang aneh.

“Dulu aku jahat sama orang….hee…hee…untung saya tidak pintar jadi tidak tambah jahat….eh! kamu hidup jangan kaya….Kaya….ya?!….nanti kamu jadi orang jahat…..haa…haa….haa….aku pulang, akan pulang kerumah!!!……….” Tiba- tiba Karta berlari dengan kencang kearah perkebunan yang penuh semak- belukar, mulutnya masih meracau dengan tangisan histeris yang semakin lama sayup- sayup terdengar dan akhirnya menghilang ditelan malam. Aku hanya menggeleng- gelengka kepala, kulaju sepeda motorku dengan kecepatan tinggi. Sesampainya dirumah aku cepat- cepat mandi “Hmmm…aku kesal sama tuhan!! kenapa sih aku di beri uang banyak?! jadi aku dan mengambil air wudhu kemudian menunaikan shalat isya. Sehabis shalat kurasakan kantuk yang tak tertahankan, aku tetidur di atas hamparan sajadah.

Aku merasakan badanku yang digoyang- goyang oleh seseorang hingga membuat mimpiku terputus. Ketika tersadar ternyata itu adalah adikku yang membangunkanku untuk shalat subuh, saat aku memperhatikan baju koko dan sarung yang masih kukenakan aku baru tersadar kalau aku tertidur sehabis shalat isya semalam. Cepat- cepat aku mengambil air wudhu untuk shalat subuh soalnya waktu subuh sudah hampir habis. Air terasa sangat dingin saat mengaliri kulitku. Disaat aku tengah menunaikan shalat subuh terdengar suara ayahku berbincang- bincang dengan seseorang yang membuatku tidak tenang, soalnya bukan hanya orang tersebut dan ayahku yang berbincang- bincang tapi kemudian disusul suara ibuku juga, tak lama kemudian suara adikku ikut- ikutan terdengar juga, suara mereka terdengar gaduh membicarakan sesuatu sehingga aku semakin penasaran di buatnya.

“Siapa yang datang tadi pak?” Aku tergopoh- gopoh menuju ruang tamu setelah salam terakhir. Di ruang tamu kudapati ibu dan adikku tengah duduk termenung, sementara ayahku sibuk membetulkan letak rokok dicangklongnya sambil menatap kelangit- langit rumah.

“ Pak hansip……”

“Memangnya ada kepentingan apa dia datang pagi- pagi?”

“Menyebarkan berita, hari ini ada orang meninggal dunia.” Kini ibuku yang menjawab pertanyaanku.

“Memangnya siapa yang meninggal dunia?”.

“Karta orang gila itu, tadi pagi penjaga makam menemukan mayatnya terbujur kaku di antara nisan dengan berbalut kain kafan.” Ayahku menjawab sambil menghembuskan nafas panjang

“Haah......??!!!” Aku tersentak kaget. Tiba- tiba aku teringat pada kain putih yang dikenakan Karta semalam, ternyata itu adalah kain kafan. Terngiang ditelingaku perkataan racau Karta yang terakhir kudengar, “aku pulang…..akan pulang kerumah…..!!!” dihalaman suara kokok ayam terdengar bersahut- sahutan. Matahari semakin tinggi , menandakan sebentar lagi pagi akan segera pergi.

Suasana desa Anoman masih seperti biasa. Orang- orang masih bertani, para distributor kecil masih berdagang, warung kopi masih penuh dengan pelanggan, pak Wiro masih aktif berorasi, aku masih bekerja di kantor kecamatan sebagai sekertaris dan apabila pulang kerja selalu menyempatkan diri untuk mampir di warung kopi lik Kusno. Hanya ada satu yang berbeda, tak ada lagi Karta yang selalu duduk di ujung jalan desa.


JAKARTA 30 Januari- 05 Februari 2008