Saturday, August 25, 2007

Cerpen Ahmad Rifa'i (EDO)

Ahmad Rifa'i. Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. sedang menyelesaikan Studinya. Tidak Hanya sebagai seorang penulis cerpen, ia pun menulis beberapa puisi. Ia sempat singgah dan masih semi aktif di Sanggar Altar.

Aku tersesat…

Pagi ini sejuk sekali. Hingga penuh dada ini kuisi dengan oksigen-oksigen yang bertebaran di udara. Mendung datang lagi.

Kuambil kunci-kunci yang terselip di mimpi tadi malam, lalu kubuka pintu hari.

Ya tuhan, matahari masih terlelelap.

“Bangunlah!, cerahkan biru langit dengan pancarmu. Hangatkan hati-hati mereka yang kedinginan” teriakku.

“Jangan ganggu aku. Aku ingin istirahat. Biarkan mendung memanggil hujan untuk lanjutkan episode hari ini” sahut matahari sambil mengucek mata.

“Lalu…”

“Hey! Siapa itu…?”

Segenggam suara langsung menyumbat kedua selaput gendang telingaku, penuh wibawa hingga susutkanku sampai sebesar kelingking. Serta merta aku mendongak.

O... malaikat, sedang apa disini?

“Keluar...!” bentaknya lantang.

Keluar kemana, tak ada pintu, tak ada ruang––tapi dari mana aku masuk tadi?

“Cepat...!” aku makin semaput.

“Larilah, jika hanya itu harapan. Selamatkan semuanya. Selamatkan hatimu, selamatkan lidah-lidah yang selalu terjaga dipagi buta, selamatkan...selamatkan...” ucap matahari hingga tak terdengar lagi karena aku terus berlari.

Entah kemana aku tak tahu, yang kutahu hanya berlari, berlari dan berlari sejauh mungkin.

Lelah mendamparkanku dibelantara hari. Aku tercengang pada gelapnya. Juga pekatnya.

Kuraba-raba tanah disekitar kakiku yang berdarah-darah, berharap menemukan sebongkah batu api untuk sekedar kujadikan cahaya penerang jalan.

Ternyata korek api yang kutemukan. Korek api dekil berukir tengkorak pada kedua sisinya. Mungkin semua sudah diatur, karena sepertinya korek api ini yang menemukanku dan bukan aku yang menemukannya. Entah manusia seperti apa yang merokok ditempat seperti ini?

Eh ...merokok? manusia...? adakah manusia selain aku disini? Masih hidupkah?

Atau...

Sudah dibunuh sunyi-sepi hari-hari dalam gelap belantara waktu. Dan Cuma ini yang ditinggalkannya, korek api dekil berukir tengkorak pada kedua sisinya––untuk orang-orang tersesat seperti aku. Jika aku mati sebelum sempat kembali, apa yang mesti kutinggalkan? Aku tak punya apa-apa.

Kau lebih beruntung, kawan. Setelah matipun kau masih ada guna, selayak seorang jendral besar, berbintang-bintang terima kasih mestinya tersemat di dada kirimu.

Sedang aku...

Sudahlah, aku harus berjalan terus, meski tak tahu apa yang kutuju. Yang jelas, aku tak boleh berhenti dan mati disini.

Korek api kugenggam erat. Kugesekkan jempol tangan kiriku, seketika itu berpendar muncrat bunga-bunga api, lalu kucoba sekali lagi karena api belum muncul. Sampai kali keempat api harapan baru muncul. Penuh retinaku oleh cahaya.

Tempat apa ini. Semua benda adalah waktu, semua benda adalah jam...

Berdetak-detak...

Berdentang-dentang...

Tiba-tiba...

“Anak muda, teruslah melangkah, baru saja kau hancurkan hidup, kini kau sudah mulai menginjaknya lagi”

Suara itu terdengar lirih, seperti tercekik, namun seperti kukenal.

Astaga! Beberapa buah jam pecah terinjak kaki.

”Maaf, aku tak tahu...” sesalku dalam gugup, membela diri.

“Kau memang selalu tak tahu, selalu tak mau tahu. Tapi kau menyadarinya, bukan!?” lanjutnya penuh marah.

Aku tertegun, suara itu...

Suara itu...

Suara itu seperti...

Seperti...

Seperti suaraku.

Aku tercekat, kullihat sekeliling, berputar.

“Dimana... dimana... siapa... siapa kau?”

Tak ada suara. tak ada jawaban. Hanya angin berhembus pelan. Pelan.

Sepi membungkus suasana. Aku tersungkur, menjerit...

“Siapa aku...?

Nyala korek api perlahan mulai padam.

7 Mei 2004